Mengenal Lebih Dekat Kiai Amat Ramdhon Pengasuh Ponpes Al Nawadir Kabupaten Pekalongan

PEKALONGAN – Abuya Nawadir Nama lengkapnya Abuya Nawadir adalah: Ki mas Amat Ramdhon bin Abdullah bin Bakri bin Ibrahim bin Sholeh bin Abdurahman al- Misri bin Syaikh Abdul Karim Al Bantani. Ia adalah trah keturunan ke 19 dari Syeh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Cirebon.

Sebutan Abuya adalah panggilan bagi murid-muridnya yang bermakna bapak kami, sedangkan Nawadir diambil dari nama Pondok Pesantrennya yang ia asuh, yakni Ponpes Al- Nawadir , namun yang ia kelola, yang bermakna langka, unik namun benar.

Abuya Nawadir, atau sebagian muridnya ada yang memanggil Syaikh Nawadiri, ada juga Syaikhu (Syuhu). Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat beragama, karena nasab beliau masih garis lurus ke 7 dari Syaikh Abdul Karim Tanara al-Bantani, Mursyid utama Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah di Indonesia setelah sepeninggal gurunya Syaikh Ahmad Khatib Sambas.

Syaikh Abdul Karim Al Bantani adalah Trah Pangeran Sunyararas bin
Maulana Hasanudin Banten bin Syaikh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Cirebon.

Ketika awak media mendatangi kediamannya, tampak terpampang di ruang tamu tersusun rapi catatan nasab beliau Abuya Nawadir yang bersambung hingga ke Sunan Gunung Jati Cirebon. Senin (13/032021).

” Catatan nasab keluarga kami hingga Syaikh Abdul Karim Al Bantani, ada pada manuskrip yang disimpan oleh Mbah Kiai Khuzaini bin Ibrohim Al Misri bin Abdurrahman Al Misri bin Syaikh Abul Karim Tanara Al Bantani. Sedangkan dari Syeh Abdul Karim hingga Sunan Gunung Jati, ada dalam catatan Dinas Kebudayaan Provinsi Banten,” ungkap Abuya.

Abuya Nawadir, mengambil ijasah Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah dari pihak keluarga turun temurun. Meskipun ia juga berbaiat Tarekat Qodiriyah dengan KH. Khosim Cirebon dan baiat Tarekat Naqsabandiyah Haqqani dengan KH Taufiqurrahman Pekalongan, sedangkan mengambil baiat.

Tarekat Sadziliyah dari Maulana Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan. Sementara pihaknya berbaiat Tarekat Idrisiyah dengan KH Thoifur Mawardi murid Syeh Muhammad bin Sayyid Alwy Al Maliki.

Sejak kecil, Abuya Nawadir (Amat Ramdhon) mendapat pendidikan yang ketat dari keluarga yang bermadzhab Suni. Sembari kuliah formal, ia mondok di Abah Dimyati Kaliwungu.

Banyak guru- guru beliau kalangan ulama fiqih, seperti KH Mudzakkir, Kiai Afandi Bakri, Kiai Abdullah Nahrowi, kemudian mengambil ilmu hadits dari KH Mudatsir dan Kiai Ali Waryani , sementara ngaji tafsir Al -quran dengan KH Ghofar Ismail dan bahasa arab kepada Kiai Was’an, juga berguru Usul Fiqih kepada Kiai Palil yang bermadzhab Syafi’, Sedangkan guru pembimbing ilmu Tasawuf sekaligus mursyidnya yakni Syaikh Fadlun ibn Abbas al-Banyurifi.

Rupanya dunia tasawuf membuatnya ia jatuh cinta dengan Allah, dan guru yang terakhir inilah yang banyak mempengaruhi pemikirannya dan ia berkhidmad sampai wafatnya sang guru, Al Alim Al Alamah Al Hafidh Al Arif Syaikh Fadlun Ibn Abbas al- Banyurifi.

Syaikh Fadlun adalah Mursyid Tarekat Akbariyaah, ia berguru dengan Sayyid Alwy Al Maliki selama 10 tahun. Syeh Fadlun juga murid dari Mbah Dalhar Watu Congol , Syeh Fadlun inilah yang banyak mewarnai dalam kehidupan Abuya Nawadir. Ia mulai mendalami tasawuf falsafi karya ibn Arabi dan al-jilli, yang karya masterpiece nya sampai saat ini menjadi panduan dalam pengajiannya yakni kitab Al insanul Kamil fi Ma’rifatul awa’il wal awakhir, disamping kitab-kitab tasawuf yang lain seperti al-Gunyah, Minahus Saniyah, Sirrul Asrar karya Syaikh Abdul Qodir Jaelani, Minhajul Abidin, bidayatul hidayah, risyalah laduniyah karya Imam Ghozali juga menjadi panduan pengajaran di Majelis Taklim nya di Ponpes Al – Nawadir Kabupaten Pekalongan-Jateng.

Sementara kajian dalam tasawuf falsafi di Majelis Taklim al-Nawadir mengacu kitab-kitabnya ibn Arabi seperti Fushus al-Hikam dan Futuhatul Makiyah dan kitab insanul kamil fi ma’rifatil awa’il wal awakhir serta al-Kahfi wa Taqim fi Sarah Bismillah, karya Syeh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli dan yang lain.

Adapun dalam pengajian tafsir al-Quranul Karim menggunakan tafsir Jalalain dan sesekali membuka tafsir isyari.

Abuya Nawadir, ketika ditinggal gurunya Syaikh Fadlun ibn Abbas, dia merasa kehilangan, kerinduan yang mendalam terhadap gurunya tak terbendungkan, sehingga ia melanjutkan studi formal di S2 Magister IAIN Walisongo Semarang mengambil konsentrasi etika tasawuf, meskipun latar belakang pendidikan formalnya ia menamatkan S1 Pendidikan di Unnes.

Abuya Nawadir sempat menjadi Pegawai Negeri di Pemerintah Daerah Kabupaten pekalongan dan menjabat sebagai Kepala bidang Pendidikan non formal pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan (2011), namun karena dorongan yang kuat untuk menerapkan keilmuannya di bidang tasawuf, akhirnya ia memilih pensiun dini dan mendirikan sebuah majelis taklim dengan nama Majelis taklim Al-Nawadir , kemudian dengan pengembangannya terbentuk Pondok Pesantren al- Nawadir yang beralamat di jalan Dewa Ruci No:01. RT:02/ RW:03 Perum Kwayangan, desa Kwayangan Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah.

Kegiatan pengajian rutin di Majelis Taklim al-Nawadir setiap malam Rabu : Pengajian khusus kajian tauhid dan setiap malam Jumat “tabarukan” pembacaan manaqib Syaikh Abdul Qodir Jaelani. (red)

Mungkin Anda Menyukai